Bila dipikir-pikir ternyata ada banyak istilah yang mengklasifikasi
tentang apa dan bagaimana interaksi seseorang dengan Supernatural Being (Tuhan)
atau karakteristik keberagamaan, religiositas, atau keimanan seseorang,
sekelompok orang (grup), serta sebuah masyarakat. Adalah istilah-istilah
seperti monoteistik, politeistik, paganistik, animistik, teistik, pantaistik, ateistik,
agnostik, deistik, mistik-asketik, dan bahkan hedonistik. Istilah-istilah
ini tidak ubahnya kemudian sebagai sebuah identitas bagi orang yang
diidentifikasi demikian, kurang lebih sama halnya dengan sebuah nama milik
seseorang. Ia khas dan berbeda. Apa sebab? Adalah dikarenakan istilah tersebut
merupakan suatu abstraksi atas ‘budaya’ (culture) yang muncul secara transparan
dan simultan dari seseorang atau masyarakat yang dilihat itu. Budaya yang
mengabstraksi masing-masing istilah ini
mendefiniskan secara natural sosok pengampunya secara utuh melalui habitusnya
berupa pemikiran,
sikap, cita rasa, dan karya-karya fisik yang ia ciptakan atau paling tidak ia
ampu sejauh ini. Maka itu, singkatnya, istilah-istilah ini baiknya kita uraikan
secara umum satu per satu dalam tajuk ‘deretan tik-tik’ karena semuanya
berakhiran /-tik/ sebagai morfem terikat sekaligus sebagai pemarkah bahwa
istilah-istilah tersebut merupakan bentuk derivatif serta berjenis kata: kata
sifat (adjektiva).
Monoteistik. Istilah ini merupakan
bentuk sifat (adjektiva) dari kata ‘monoteisme’, yakni sebuah aliran atau paham
yang meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu adanya. ‘Mono’ berarti tunggal, dan
‘teisme’ berarti kepahaman pada Tuhan, sehingga monoteisme merupakan
kepahaman/pemahaman pada tuhan yang satu atau tunggal. Dia-lah Dzat yang Maha
atas segala-gala isi alam semesta raya, termasuk hidup dan kehidupan manusia.
Paham ini hadir pada seseorang, grup, atau masyarakat yang memeluk agama-agama
samawi, atau agama yang turun atau diturunkan dari langit melalui risalah
kenabian seperti pada agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dengan paham ini, habitus pengikutnya tentu
disifati dengan keyakinan atas keberadaan Tuhan yang satu itu. baginya, Tuhan
itu hanya satu atau tunggal, tidak mungkin diduakan atau ditandingi.
Politeistik. Istilah ini pun
mensifati dari kata bendanya yang bernama ‘politeisme’. Istilah ini mengacu
pada makna atau konsep yang bertentangan secara diametral dengan konsep
monoteistik di atas. Politeisme menekankan bahwa Tuhan atau kehadiran serta
keberadaan Tuhan itu muncul dalam beberapa rupa dan nama bergantung pada
tugasnya masing-masing. ‘Poli’ berarti banyak dan ‘teisme’ berarti kepahaman
pada tuhan; jadi pemahaman pada tuhan yang banyak. Terkait dengan ini,
politeistik sebenarnya menerangkan atau mensifati seseorang dan sejumlah orang
yang mempunyai kepribadian, kebiasaan, serta perilaku yang bertali-temali pada
keyakinan akan kehadiran/keberadaan banyak Tuhan di dunia ini. wujud prakteknya
adalah semua entitas yang dianggap pengejawantahan Tuhan di dalam hidupnya akan
diperlakuakn secara sacral dan berupaya untuk meniru sifat-sifat positif yang
terpancar dari entitas-entitas dimaksud.
Paganistik. Istilah ini mengacu pada
sebuah kepercayaan atau keyakinan yang disebut ‘paganisme’. Paganisme merupakan
sebuah paham yang meyakini bahwa keberadaan tuhan itu bisa diejawantahkan
dengan pagan-pagan atau berhala-berhala, yang kemudian berhala-berhala ini dipandang
sebagai sosok yang suci, agung, serta sakral serta menjadi ‘perwakilan nyata’
atas kekuatan-kekuatan yang dirasakan ada di balik sejumlah berhala itu. Atas
dasar ini, para pemeluknya melakukan sesembahan atau persembahayangan di
hadapan wujud ketuhanan yang bernama berhala-berhala itu. Dengan ini pula,
istilah paganistik sejatinya mengacu pada paham atau keyakinan akan penghadiran
kekuatan Tuhan melalui berhala-berhala yang manusia buat atau konstruksi
sendiri baik secara subyektif maupun kolektif.
Animistik. Istilah ini mengacu pada
paham yang bernama ‘animisme’ yakni paham atau keyakinan yang mengakui
kehadiran tuhan melalui elemen dan entitas alam yang unik, besar, dan sangat
berpengaruh pada hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini, paham ini pun
secara prakteknya tidak jauh berbeda dengan paham paganisme serta tentu sekali
menjadi bagian dari paham politeisme, yang dipaparkan di atas. paham ini
meyakini suatu entitas atau elemen alam tertentu diyakini merupakan wujud tuhan
seperti perlakuan mereka terhadap kemunculan matahari, bulan, bintang, angin, awan, pohon besar,
batu besar, dan sebagainya. Untuk itu, seseorang yang bersifat animistik ini
tentunya akan memperlakukan keberadaan sejumlah entitas itu diperlakukannya
sebagai ‘tuhan’nya yang disembah dan disakralkan dengan berbagai rupa dan
praktek ritualitas.
Teistik. Istilah ini berakar pada
kata ‘teisme’ yang merupakan paham yang meyakini adanya ‘supernatural being’
atau kekuatan yang supernatural atau di luar dari kekuatan manusia. Kekuatan
ini mengatur dan menguasai hidup dan kehidupan manusia. Istilah ini sebenarnya
bisa mensifati semua istilah-istilah yang sudah diutarakan di atas, yaitu
monoteistik, politeisitik, paganistik, animistik, yang kesemuanya meyakini
adanya kekuatan supernatural di balik obyek atau referensi ritualitas yang
diujudkan. Istilah ini, dengan kata lain, merupakan istilah umum yang mengacu
pada sifat akan seseorang, grup, atau masyarakat tertentu yang mempunyai
keyakinan atas Tuhan atau ketuhanan, terlepas dari apa dan bagaimana model
ritualitas yang dilangsungkan ketika berinteraksi dengan kekuatan yang bersifat
supernatural itu.
Pantaistik. Istilah ini mengacu atau
mensifati sebuah pemikiran, paham, atau sikap-perilaku seseorang atau
masyarakat yang mengakui keberadaan Tuhan itu termanifestasikan dengan
keseluruhan elemen alam semesta ini, yang kemudian dikenal dengan nama paham
‘pantaisme’. Orang yang disifati dengan pantaistik ini akan senantiasa
memandang bahwa Tuhan itu ada di mana-mana dan bahkan di dalam dirinya sendiri,
karena dirinya merupakan bagian dari semesta alam. Serta tuhan itu dapat
mewujud dengan berbagai rupa dan bentuk sebagaimana ia lihat di seantero jagat
raya ini. Dengan kata lain, wujud alam semesta ini seluruhnya merupakan wujud
Tuhan itu sendiri. Paham ini sebenarnya berkaitan erat dengan paham animsime
yang diutarakan di atas, namun paham pantaisme cenderung hanyalah sebagai paham
atau keyakinan yang tidak dipraktekkan secara ritual sebagaimana modelnya dalam
agama. Paham animisme boleh jadi merupakan kelanjutan atau konkretisasi atas
paham animisme dalam konteks tertentu., karena animisme tidak hanya sebagai
sebuah paham saja tetapi merupakan sebuah agama atau praktek ritual masyarakat
tertentu.
Ateistik. Istilah ini sebenarnya
merupakan bentuk antonim dari istilah ‘teistik’ yang telah dipaparkan di atas.
ateistik adalah sifat, sikap-perilaku yang jelas-jelas secara total tidak
mengakui keberadaan dan kehadiran Tuhan di dunia, alam, dan sepanjang hidup dan
kehidupannya. Tuhan tidak ada dan tidak pernh ada di atas dunia ini, sementara
kehadiran serta keberadaan semua entitas alam semesta ini, termasuk manusia itu
sendiri adalah dengan sendirinya, yang muncul secara alamiah, tanpa ada
kekuatan supernatural ketuhanan di balik itu semua. Hidup dan matinya seseorang
adalah fenomena alamiah, bukan karena penentuan ajal atau nasib-takdir manusia
oleh Tuhan. Untuk ini, seseorang yang berpaham ateisme ini sama sekali tidak
mengenal dan tidak mau kenal akan budaya ritualitas, termasuk prosesi
serimonial. Hidup dan mati, keberuntungan dan kesialan adalah sejatinya karena
sebab-musbab (causal factor) atas usaha dan kekuatannya sendiri, bukan
ditentukan oleh kekuatan lain, di luar dirinya. Intinya, Tuhan itu tidak ada
dan tidak akan pernah ada, bagi dia.
Agnostik. Sebuah istilah yang
mengacu pada sikap atau sifat yang mengakui ke-Ada-an Tuhan tetapi tidak total,
alias setengah-setengah. Sikap dan paham yang megiringi istilah ini sebenarnya
bentuk ‘kompromi’ (‘sikap di antara’) atas sikap/sifat yang ada di antara paham
teisme dan ateisme. Konkretnya, orang yang bersikap agnostik adalah orang yang
memang mengakui ke-Ada-an Tuhan di dunia ini, tetapi Ia tidak diyakini berada
di nun jauh di ,
tidak punya peran serta kekauta untuk menentukan hidup dan kehidupannya di
dunia ini. Orang ini hanya sekedar percaya saja. Itu saja. Tidak ada tuntutan
dalam dirinya untuk melakukan sejumlah ritualitas sebagai wujud penghambaannya
pada Yang Kuasa. Bahkan dia berpikir bahwa agama menjadi sebuah aktifitas yang
dilakukan oleh orang-orang yang ‘sakit’, ‘lemah’, serta ‘penakut’, yakni takut
atas pikiran-pikiran ilusi yang mereka buat sendiri. Dengan kata lain, agama,
baginya, tidak akan berpengaruh besar terhadap kehidupannya, baik buruknya,
karena Tuhan itu sebenarnya berada di nun jauh di . .
Deistik. Istilah ini mengacu pada
sikap atau paham yang meyakini bahwa Tuhan sebagai Divine atau Supernatural
Being itu ada, tetapi tidak mau serta tidak meyakini bahwa manusia harus
mempercayai adanya wahyu serta segenap dogma sebagai awal adanya ritualitas
penghambaan terhadapNya. Dalam konteks ini, istilah ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dalam tataran esensi maupun praktek. Akan tetapi, yang membedakannya
adalah penekanan paham serta sikap di antara keduanya. Deistik yang berakar
pada Deisme masih meyakini adanya peran Tuhan dalam kehidupan manusia yakni,
Tuhan-lah yang menyebabkan kelahiran manusia di atas dunia ini, tetapi
sepanjang hidup manusia itu Tuhan sudah tidak berperan lagi, sudah pensiun.
Sementara itu, agnostik sebagai wujud dari Agnotisme tidak sejauh itu meyakini
keberadaan dan ke-Ada-an Tuhan. Ia hanya sekedar percaya saja. baginya, Tuhan
tidak punya peran dan andil dalam berbagai bentuk sejauh kelahiran serta
keberadaannya di atas dunia ini.
Mistik-Asketik. Dua istilah ini
sebenarnya berangkat dari paham yang berbeda, tetapi sejujurnya pada esensi
mengacu pada tujuan atau target yang sama. Mistik bersumber pada Mistikisme,
atau istilah lainnya ‘sufisme’ yakni paham atau keyakinan yang memandang bahwa
keberadaan dan ke-Ada-an Tuhan sebenarnya bisa dirasakan dan dinikmati dengan
penguatan jiwa, pengenalan jati diri, kecintaan kepada yang ilahi, dan/atau
pencapaian alam roh. Mistik kemudian disepadankan dengan sufistik. Sementara
itu, asketik berakar pada paham ‘asketikisme’ yang memandang bahwa dunia
kebendaan atau keduniawian adalah sebuah fatamorgana dan yang abadi adalah alam
kehidupan sejati yakni kehidupan setelah kematian. Untuk ini, sifat
mistik-asketik adalah sikap atau sifat yang menjadikan seseorang untuk sedikit
‘menghindari’ diri dari aspek-aspek keduniawian, kebendaan, glamour,
ketidak-abadian atau kenisbian, melainkan mengedepankan kecintaan dan proyeksi
kehidupan pada alam setelah kematian. Penghindaran semacam ini memunculkan
sikap atau
hidup yang bersahaja, ketundukan atau kepasrahan, dan ketaatan total kepada
Supernatural Being, atau Yang Maha Kuasa.
Hedonistik. Istilah yang terakhir
ini mengacu pada sikap atau sifat yang justru sebaliknya dari sifat atau
pandangan hidup mistik-asketik yang dipaparkan di atas. pandangan ini justru
menekankan kepada kepuasan hidup di dunia, karena setalah kematian pemuasan
semcama itu tidak akan bisa digapai dan dinikmati lagi. Hedonistik ini berakar
pada paham ‘hedonisme’ yakni paham yang mencintai pada kebendaan dan keindahan
dunia. Paham ini bisa digambarkan seperti yang ditulis dalam Carper Diem, yang
berbunyi: “Let’s eat and drink my dear for tomorrow we shall die” (Mari makan
dan minum sayang karena besok kita akan mati). Jelaslah, bahwa sikap seperti
ini menekankan akan kepuasan hidup semasih hidup di dunia, karena setelah
kematian, keindahan dan kenikmatan tidak mungkin terjadi. Dengan kata lain,
paham atau sikap ini secara tersirat menegasikan keberadaan serta kekuasaan
Tuhan atas dirinya. Tuhan mungkin berada di nun jauh di , atau Tuhan telah mati, atau Tuhan
memang tidak pernah ada sama sekali. Yang ada adalah upaya dan asa manusia
untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan hidup di dunia.
Pokok persoalannya kemudian adalah bagaimana dengan yang terjadi dan
berkembang sejauh ini di dataran ?
Apakah paham, sifat, dan sikap orang sasak khususnya berada di salah satu
klasifikasi atau identitas yang diutarakan di atas? Ataukah sebenarnya campur-campur,
yaitu ada yang pantaistik-paganistik-animistik, atau teistik-politeistik-deistik,
atau ateistik-agnostik-deistik
atau mungkin politeistik-mistik-asketik-hedonistik? Jawabannya adalah
terhatur kembali ke diri kita masing-masing. Wassalam.
(, 16 Juni 2011)
Oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
DERETAN ‘TIK-TIK’ DALAM SEMESTA KEYAKINAN
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Desember 19, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar