FALSAFAH ‘MERANG’: POSISI KONSEPTUAL DAN KEBERARTIANNYA (Refleksi Orang Sasak terhadap Kabinet Kerja)


Sasak itu adalah bangsa yang beradab. Bukti bahwa bangsa Sasak itu beradab – paling tidak – dapat diukur dari tiga indikator dasar. Koentjaraningrat (1990), yang disepakati oleh para ahli budaya berikutnya, menyebutkan tiga wujud budaya, yaitu yang berbentuk ide (ideational), yang berbentuk perilaku (behavioral), dan yang berbentuk fisik (physical). Tiga wujud budaya inilah menjadi indikator tersebut. Bagaimana tidak, terlepas dari penilaian canggih atau tidak terhadapnya, ketiga wujud budaya tersebut dimiliki sepenuhnya oleh bangsa Sasak. Ketiganya (telah) ada dan terus berkembang mengikuti progresifitas kehidupan bangsa Sasak. Ketiganya menjadikan bangsa Sasak kemudian berbeda dan khas bila disandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain. Ketiganya bahkan menjadikan bangsa Sasak – menurut sebagian para tokoh masyarakat – sepatutnya diakui sebagai bangsa yang avant garde dan berposisi sebagai kelompok generasi manusia tertua yang hidup di dunia ini. Agak sulit memang proposisi-proposisi di atas untuk dibantah karena memang seperti itulah adanya. Dengan demikian, bangsa Sasak memang bangsa beradab dan kita sebagai bagian darinya patut berbangga akan hal ini.

Terkait dengan indikator yang pertama yaitu budaya ideasional, bangsa Sasak memiliki sejumlah falsafah hidup atau sistem nilai yang memperkuat betapa bangsa Sasak itu beradab. Falsafah itu bahkan menjadikan peradaban bangsa Sasak cukup tipikal dan menjadikannya mempunyai jati diri kebangsaan yang terkategori sebagai kearifan lokal. Beberapa di antaranya adalah falsafah Merang, Tindih, Maliq, Ilaq, dan sebagainya. Kesemuanya ini mendasari kesadaran kolektif (collective consciousness) orang Sasak. Meskipun demikian, menariknya, penjelasan dan pemaknaan terhadap semua falsafah hidup orang Sasak itu – dalam pandangan saya – tampaknya belum begitu mendapat eksplanasi yang definitif dan komprehensif. Jikapun ada, eksplanasinya pun seakan-akan berada di mercusuar tinggi sebagai wacana yang high-context dan sulit sekali untuk dipahami dan dikonkretisasi dalam kehidupan kemasyarakatan kita. Padahal, hal itu sejatinya menjadi roh dan urat nadi kehidupan keseharian. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba memaparkan salah satu falsafah hidup orang Sasak yang bernama ‘Merang’, dalam rangka mendudukkan kehadiran falsafah hidup ini dalam perspektif teoretis selain menunjukkan keberartiannya bagi bangsa Sasak.

Pemosisian Konsep ‘Merang’
Adalah Emile Durkheim, seorang sosiolog berkebangsaan Prancis, yang pertama-tama menyebutkan konsep solidaritas (solidarity). Istilah ini mengacu pada soal sejauh mana kualitas rasa keberikatan atau kohesifitas yang ditunjukkan oleh setiap individu terhadap keberadaan individu yang lain dalam suatu komunittas. Terkait dengan hal ini, Durkheim mengajukan tesisnya bahwa terdapat dua macam atau bentuk masyarakat yang muncul disebabkan oleh konsep solidaritas tersebut, yaitu masyarakat mekanik (mechanic society) dan masyarakat organik (organic society).

Yang pertama mengacu pada “ideas and tendencies common to all members of the society are greater in number and intensity than those which pertain personally to each member. In other words, mechanical solidarity prevails where individual differences are minimized and the members of society are much alike in their devotion to the common weal” (Coser, 1971; Barbu, 1971). Dalam penejelasan tersebut, jelas-jelas masyarakat mekanik ada didukung oleh hadirnya solidaritas yang bersifat mekanis pula. Yaitu, solidaritas yang menekankan hadirnya intensitas kesamaan ide dan kecenderungan dari masing-masing individu di dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, perbedaan dalam bentuk apapun khususnya dalam bentuk ide, sikap, dan perilaku diupayakan untuk dikurangi ataupun, jika memungkinkan, ditiadakan. Perbedaan, dalam masyarakat ini, berarti sebuah ancaman besar dalam kohesifitas. Akibatnya, yang menjadi pokok kekuatan solidaritas masyarakat mekanik ini adalah ikatan emosional berupa: perasaan bersaudara, seperjuangan, senasib sepenanggungan, dan sejenisnya. Menariknya, Durkheim memberikan contoh terhadap keberadaan masyarakat yang bersolidaritas seperti ini seperti masyarakat pedesaan, meskipun dalam hemat saya pemikiran pemberian contoh oleh Durkheim seperti ini agak simplistis atau reduksionis. Artinya, gejala semacam itu pun tidak menutup kemungkinan ada dan berkembang di perkotaan.

Sementara itu, yang kedua mengacu sebaliknya dari konsep masyarakat atau solidaritas mekanis yang dipaparkan di atas tadi. Supaya lebih jelas, masyarakat organik dibangun atas dasar solidaritas yang bersifat organis. Yaitu, masyarakat yang berpola pada hadirnya perbedaan (differences) ketimbang kesamaan atau kemiripan (likeness) di antara individu yang ada di komunitas atau masyarakat tersebut. Durkheim mengatakan bahwa solidaritas ini merupakan “a product of the division of labor. With increasing differentiation of functions in a society come increasing differences between its members” (Coser, 1971; Barbu, 1971). Atas fenomena seperti ini, keberadaan masyarakat atau solidaritas organis ini ditopang oleh ikatan atau pertalian sosial yang bersifat rasional dan fungsional. Dengan kata lain, solidaritas antarindividu itu tidak terlampau kuat, tidak seperti yang ada di dalam masyarakat mekanis. Ia hadir disebabkan nilai fungsionalitas atau, kasarnya, atas dasar kepentingan pragmatis semata. Kemunculan kondisi masyarakat dengan model solidaritas seperti ini cenderung berkembang di daerah perkotaan, khususnya di dalam perkantoran, perusahaan, atau lembaga-lembaga pemerintahan. Akibatnya, intensitas rasa seperti yang muncul pada masyarakat yang pertama tidak begitu tampak atau bahkan sama sekali tidak ada.

Berpijak dari teori Durkheim yang diutarakan di atas, konsep ‘merang’ tersebut jelas-jelas dapat dimasukkan ke dalam masyarakat mekanis yang keterikatan sosial budayanya berdasarkan kekuatan emosional. Solidaritas yang dibangun adalah solidaritas kebersamaan dan kesamaan visi, bukan atas dasar rasionalitas fungsi. Solidaritas seperti itu dapat muncul karena pandangan hidup mereka dilandasi oleh kesadaran kolektif dan/atau sistem pengetahuan yang kurang lebih sama. Dalam konteks ini, ‘merang’ menjadi bagian kesadaran kolektif. Ia menjadi sistem nilai dan harga diri orang Sasak. Akibatnya, ia mendasari hadirnya solidaritas emosional itu, sehingga keterpaduan, kesatuan, harmoni, dan kebersamaan adalah keniscayaan dan menjadi tolak ukur (sudah) berlakunya ‘merang’ tersebut. Keberadaan merang yang mendasari solidaritas masyarakat Sasak disebabkan oleh fakta bahwa nilai ‘merang’ tumbuh di dalam mentalitas orang Sasak. Ia mengendap dan hidup dalam urat nadi kehidupan masyarakat itu. Keberadaannya tidak tampak, tetapi ia menggerakkan elan vital dan visi mereka. Apabila muncul, maka ia mewujud dan melingkupi sikap dan perilaku orang Sasak. Itu pun apabila sudah disebabkan oleh hal-hal yang anomik atau yang mengacaukan sehingga mengganggu tatanan harmoni sosial mereka. Pada konteks ini, ‘merang’ menjadi roh hadirnya semangat dan reaksi psikologis yang aktif dan progresif. ‘Merang’ hadir sebagai sebuah kewajiban atau tanggung jawab moral demi membela, mempertahankan, dan memperjuangkan hak-hak dan harga diri dan kelompoknya sebagai satu komunitas. Singkatnya, ‘merang’ adalah kesadaran kolektif atau landasan peradaban orang Sasak yang hidup atas dasar kesamaan latar belakang, kesatuan komunalitas, dan kesamaan budaya.

Keberartian ‘Merang’

Faktanya memang, bangsa Sasak itu umumnya sangat menyukai dan berusaha untuk menciptakan kehidupan yang harmoni. Bahkan, pendasaran sistem nilai yang dikembangkan oleh leluhurnya acap kali menekankan pada hadirnya harmonisitas hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alamnya. Fakta ini semakin menguatkan bahwa mekanisitas hidup yang terlandasi ikatan emosional merupakan sebuah tuntutan dan keniscayaan yang perlu dihadirkan. Dan tidakkah karena itu perlunya dihadirkan selalu awig-awig dan sistem nilai, bukan?

Konsep ‘merang’ sebagai bagian falsafah dan kesadaran Sasak sejatinya hadir dan berposisi dalam rangka untuk itu, yaitu mendukung terciptanya tatanan sosial yang harmoni itu. Merang, dalam pandangaan saya, bergerak ke dua arah yang berbeda, yaitu ke dalam diri dan ke luar diri. Yang pertama, merang menjadi semangat yang menjelaskan setiap orang Sasak untuk terus mengidentifikasi kesasakannya. Ia melingkupi bawah sadar orang Sasak sehingga semangat besemeton, bile bantel, dan bile raweng terus ada di setiap kelompok Sasak. Sementara itu, yang kedua mengacu pada pembentukan dan pewujudan sikap dan tindakan orang Sasak. Orang Sasak akan secara otomatis bersikap dan bertindak, terlepas dari sikapnya yang reaktif, emosionil, ataupun impulsif, ketika dihadapannya muncul gejala-gejala yang dapat mengancam harga diri dan harmonisitas hidup mereka. Sikap atau tindakan ini merupakan ekspresi ‘merang’ dimaksud. Ia menjadi ‘penanda’ (signifier) bahwa orang Sasak yang terhormat itu senantiasa ada.

Sehubungan dengan ini, dalam pandangan saya, falsafah dan nilai ‘merang’ tersebut alangkah indahnya untuk diposisikan sebagai semangat dan penanda kehidupan Sasak yang bersifat aktif bukan pasif, seperti umumnya muncul selama ini. Yang saya maksudkan dengan hal ini adalah bahwa sikap ‘merang’ hanya akan muncul tatkala hadirnya gejala-gejala anomik yang mengancam keberadaan kehidupan orang Sasak. Ia hadir dalam istilah-istilah Sasak berupa bile bantel atau bile raweng. berdasarkan fakta ini, ‘merang’ itu bersifat pasif. Artinya secara kausal, ia muncul hanya sebagai ‘akibat’, yang sebelumnya didorong oleh ‘sebab’. Dalam pandangan saya, sikap ‘merang’ ini seharusnya dihidupkan terus sejak awal, tanpa sebab-musabab, di dalam jiwa dalam bentuk semangat dan elan vital kebersamaan demi kemajuan bersama. Dalam tataran ini, dalam pandangan saya, ‘merang’ itu sudah bersifat aktif. Dengan demikian, ia akan dapat berperan produktif bagi mereka. Artinya, apabila hal itu terjadi, maka orang Sasak akan lebih dikenal sebagai bangsa yang cinta terhadap kebersamaan, bukan dikenal sebagai bangsa yang cenderung ‘nafsi-nafsi’ dan terkotak-kotakkan sebagaimana tercermin dalam pola pertunjukan Panjat Pinang (Jurakan). Bangsa Sasak harus mampu berbenah untuk itu. Dan titik awal untuk upaya tersebut adalah pengubahan paradigma berpikir, termasuk di dalam pendefinisian dan pembentukan karakter ‘merang’ itu. Bila tidak, maka bangsa Sasak akan terus berposisi subordinat untuk kemajuan bangsa-bangsa yang lain. Untuk itulah, ‘merang’ yang bersifat aktif sedari sekarang hendaknya mulai dihidupkan agar orang Sasak dapat diperhitungkan di tingkat nasional, seperti misalnya saat penjatahan posisi menteri. Bangsa Sasak harus berpikir akan hal ini dan mendukung anak bangsanya, siapapun orangnya, untuk berkiprah di nasional. Sampai saat ini, sejauh pengetahuan saya, belum ada menteri dari bangsa Sasak, seperti yang terlihat di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Kita harus berefleksi tentang ini!

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
FALSAFAH ‘MERANG’: POSISI KONSEPTUAL DAN KEBERARTIANNYA (Refleksi Orang Sasak terhadap Kabinet Kerja) FALSAFAH ‘MERANG’: POSISI KONSEPTUAL DAN KEBERARTIANNYA (Refleksi Orang Sasak terhadap Kabinet Kerja) Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Desember 08, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.