Manusia itu sebenarnya satu. Satu karena bersumber dari satu “gantoq” sama yaitu sama-sama dari Adam. Pun, satu dalam arti bahwa ia tercipta dalam bentuk, struktur, serta unsur yang sama. Tidak ada yang kurang atau lebih, selama dalam konteks kenormalannya. Apabila seorang manusia diciptakan mempunyai unsure yang berbeda, entah kurang atau lebih, maka ia akan dikategorikan sebagai sesuatu yang pengecualian. Dalam konteks ini Tuhan benar-benar memperlihatkan kekuasaan dan kebesaranNya yang maha segala-galanya. Bahwa manusia esensinya adalah satu, sama, sejajar, dan sederajat.
Namun, kenyataan sosial kutural di kehidupan manusia, konsep kesatuan dan kesamaan itu ibarat tidak terbukti, apabila tidak bisa dikatakan sulit terbukti. Dengan arti kata, kesamaan itu adalah sifatnya mustahil. Semakin dalam kita menyelamai keberadaan manusia dan kelompok manusia dalam masyarakat (society), maka konsep perbedaan-lah yang muncul dan menoonjol di mana-mana, dalam berbagai aspek, dan sejak dahulu kala.
Perbedaan yang mencolok secara sosio-kultural itu adalah adanya klasifikasi dan perbedaan kelas antara suatu kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Di masyarakat Barat, fakta perbedaan sudah lama terjadi terlepas dari perbedaan zaman dan waktu. Perbedaan itu ada dan tetap ada, tidak bisa dinegasikan dan dihilangkan. Di barat, menurut Karl Marx, kelompok atau klasifikasi social itu berupa kelompok aristrokrasi, borjuis, dan proletar. Dan itu terjadi hingga kini.
Di Indonesia fakta perbedaan kelas sosial masih ada, kuat, dan ditemukan di mana-mana, di semua etnis atau suku.
Di suku Sasak, misalnya, perbedaan itu terbelah menjadi dua bagian yaitu kelompok masyarakat menak dan kelompok jajar karang. Kelompok ini bersifat patron-client dalam masyarakat. Satu kelompok menguasai yang lain. Satu kelompok menegasikan hak-hak kelompok yang lain semata-mata atas dasar perbedaan tinggi-rendahnya kelas, terlepas dari kualitas dan potensi yang dimiliki seorang individu dalam kelompok tertentu. Kelompok yang tinggi dan yang terus berkuasa adalah kelompok jero raden, dan sebaliknya kelompok yang rendah, dikuasai dan ternegasikan adalah kelompok jajar karang.
Perbedaan yang konkrit adalah terlihat pada penggunaan label “L” (lalu), R (raden) untuk nama laki-laki, dan “Ll” (lale) dan “Bq” (baiq) untuk nama perempuan bagi mereka yang termasuk dalam kelompok sosial jero raden. Sementara itu, bagi orang yang termasuk jajar karang, baik laki-laki maupun perempuan mereka tidak berhak mempunyai label apapun di depan nama-namanya. Serta apabila sudah jadi orang tua, maka seorang kepala rumah tangga akan disebut atau dipanggil “mamiq’ untuk kelompok jero raden, dan dipanggil “amaq” untuk mereka yang tergolong jajar karang.
Perbedaan ini sungguh, mau tidak mau, sebuah kenyataan yang sudah menjadi ‘alamiah’ atau natural di masyarakat manapun. Di Lombok, suku Sasak, kenyataan alamiah ini kian hari kian diperjelas dan diperbesar jurang perbedaannya. Yang jero-raden semakin memperlihatkan previlise dan hak-haknya, sehingga posisi-posisi strategis dalam struktur pemerintahan menjadi hak otomatis bagi mereka, sementara mereka yang termasuk jajar-karang, kendatipun sangat berpotensi, akan tetap digusur hak-haknya, dinegasikan sedemikian rupa serta direkayasa secara laten atas nama ketidakadaan haknya untuk menduduki suatu posisi.
Sungguh, ini sebuah ironi yang sangat tajam bagi masyarakat Sasak yang nota bene semakin hari semakin melek akan pelbagai kemampuan dan pencerahan.
Lantas, di mana kata kebenaran kata Tuhan yang disebut-sebut dalam ayat suci di atas bahwa semua manusia itu sama, yang membedakannya adalah takwanya saja? lalu, sejauh mana peran iman dan ilmu bisa mengatasi fakta dan kenyataan perbedaan social ini di tengah masyarakat kita?
Tampaknya kita harus menunggu figure revolusioner yang benar-benar bisa mengimplementasikan konsep classless society di masyarakat Sasak khsusnya. Namun, semoga penantian ini tidaklah seperti orang-orang gembel yang sedang menunggu Godot dalam cerita Waiting for Godot, karya Samuel Beckett yang terkenal itu. Amin.
Ditulia oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Tentang Jero Raden dan Jajar Karang
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Desember 19, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar