SEJARAH SASAK
Bahasan Singkat Pemikiran Fadjri
Kemarin (26/12/2017) di kantor Bappeda NTB, saya menjadi salah satu pembahas soal Sejarah Sasak. Ini atas undangan Majelis Adat Sasak (MAS), sebuah organisasi kemasyarakatan yang sangat konsen pada pelestarian dan pemajuan budaya Sasak. Terlebih acara ini dihadiri oleh Sekda Propinsi NTB, Dr. H. Rosiady Sayuti, dan beberapa tokoh intelektual dan penglingsir dari Sasak. Sungguh, sebuah kehormatan memang bila ditilik dari siapa yang mengundang dan siapa yang hadir. Sebelumnya beberapa kali saya menolaknya, dengan mengatakan kepada Panitia bahwa saya tidak layak menjadi pembahas apalagi pembicara di acara terhormat ini. Karena, pertama, saya tidak tahu banyak soal sejarah dan kedua, yang terpenting, kualifikasi keilmuan saya bukanlah di (ilmu) sejarah melainkan di sastra dan budaya Barat (Amerika dan Inggris). Namun, atas permintaan dan peyakinan mereka, akhirnya saya memberanikan diri untuk berbicara di hadapan para hidirin terhormat itu mendampingi pembicara utama, pak Dr. M. Fadjri, dan Dr. H. Jamaludin dan Dr. Lalu Ari Irawan.
Acara ini berjalan cukup menarik. Terbukti para hadirin tak ada satu pun beringsut dari tempat duduk mereka. Bahkan ketika sesi tanya jawab berlangsung hampir sebagian besar dari mereka, termasuk dari para panitia, antusias mengangkat tangan dan memberi pertanyaan ataupun komentar. Acara ini seakan menjadi momentum yang tepat bagi mereka untuk mengeluarkan uneg-uneg mereka terkait dengan sejarah Sasak yang hingga kini -- harus diakui-- masih simpang siur dan tidak jelas adanya.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya terkait dengan Sejarah Sasak ini, yang sekaligus mengulas sedikit pemikiran Pak Fadjri di dalam bukunya itu, yang nota bene merupakan bagian dari disertasinya di program doktor sejarah UGM dengan judul "Mentalitas dan Ideologi dalam Tradisi Historiografi Sasak-Lombok pada Abad Ke-19-20" (2015).
Pertama, pemikiran/penelitian Dr. Fadjri terkait Sejarah Sasak ini berangkat dari konsep hermeneutika (penafsiran) dengan menyandarkannya dalam bingkai "Historical Interpretation". Dalam konteks ini dia mengatakan bahwa sejarah itu bukan semata-mata soal peristiwa atau fakta historis, tetapi yang lebih utama adalah soal apa kata peneliti atau sejarawan terhadap data atau fakta yang diperolehnya sebelumnya. Dia melandaskan model berpikir demikian pada apa yang diungkap oleh Michel Faucoult yang berkata "Sejarah bukanlah rekaman sesuatu yang sebenarnya terjadi, tetapi sesuatu yang sejarawan katakan tentang peristiwa yang terjadi setelah ia mengolah data menurut realitas sosial versinya sendiri".
Kedua, dengan konstruksi berpikir demikian, Fadjri sebenarnya sedang menggunakan model berpikir Dekonstruksi yang ditawarkan sebelumnya oleh Jacques Derrida yang selanjutnya menjadi warna berpikir ala postrukturalisme ataupun posmodernisme dewasa ini. Bersama ini, jika ditelisik lebih dalam, pak Fadjri sebenarnya ingin menawarkan model berpikir yang lebih khas dan berbau kearifan lokal yakni model berpikir ala Reader's Response baik itu estetika resepsi diakronis bersangkut paut dengan intertekstualitas dan hermeneutika secara berbarengan. Semacam model eklektik begitu kira-kira. Kedengarannya ini keren dan ndakik-dakik memang. Tetapi, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak, model konstruk berpikir seperti ini --secara berani saya katakan -- lebih mantap disebut dengan istilah "Durus Tunggak". Artinya, ketika menemukan sebuah kata, maka kata tersebut akan dicari maknanya lalu dikontekskan dan dikaitkan pula dengan kata yang lain dengan peristiwa yang lain pula. Sehingga, karenanya, kata "durus" dalam bahasa Sasak, menurut Fadjri, erat kaitannya denga Idris. Dengan begitu, akhirnya disimpulkan, bahwa peradaban dan bangsa Sasak itu sudah ada semenjak Nabi Idris hidup. Tentu simpulan ini dicukupi juga bersamaan dengan fakta atau data yang ia miliki. Jadi, sebuah kata ataupun fenomena akan bisa bermakna seutuhnya, tidak bias, apabila seseorang mampu memperoleh 'makna asali'nya.
Ketiga, penelitian/tulisan Fadjri ini tampaknya berangkat dari semacam "kemarahan" pribadinya terkait dengan sumber-sumber rujukan sebagian besar orang yang berasal dari "kata-kata" peneliti atau penulis luar Sasak, terutama dari Barat dan Bali ataupun Jawa. Dalam pandangannya, apa yang dikatakan mereka itu seolah-olah ditelan mentah-mentah oleh orang Sasak sendiri dan bangga dikatakan ini-itu oleh mereka. Situasi ini seakan menjadi "impetus" bagi Fadjri untuk menekuni penelitian sejarah Sasak dan rela "loncat pagar" disiplin yang sebelumnya dari jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ke Jurusan Sejarah.
Bahasan Singkat Pemikiran Fadjri
Kemarin (26/12/2017) di kantor Bappeda NTB, saya menjadi salah satu pembahas soal Sejarah Sasak. Ini atas undangan Majelis Adat Sasak (MAS), sebuah organisasi kemasyarakatan yang sangat konsen pada pelestarian dan pemajuan budaya Sasak. Terlebih acara ini dihadiri oleh Sekda Propinsi NTB, Dr. H. Rosiady Sayuti, dan beberapa tokoh intelektual dan penglingsir dari Sasak. Sungguh, sebuah kehormatan memang bila ditilik dari siapa yang mengundang dan siapa yang hadir. Sebelumnya beberapa kali saya menolaknya, dengan mengatakan kepada Panitia bahwa saya tidak layak menjadi pembahas apalagi pembicara di acara terhormat ini. Karena, pertama, saya tidak tahu banyak soal sejarah dan kedua, yang terpenting, kualifikasi keilmuan saya bukanlah di (ilmu) sejarah melainkan di sastra dan budaya Barat (Amerika dan Inggris). Namun, atas permintaan dan peyakinan mereka, akhirnya saya memberanikan diri untuk berbicara di hadapan para hidirin terhormat itu mendampingi pembicara utama, pak Dr. M. Fadjri, dan Dr. H. Jamaludin dan Dr. Lalu Ari Irawan.
Acara ini berjalan cukup menarik. Terbukti para hadirin tak ada satu pun beringsut dari tempat duduk mereka. Bahkan ketika sesi tanya jawab berlangsung hampir sebagian besar dari mereka, termasuk dari para panitia, antusias mengangkat tangan dan memberi pertanyaan ataupun komentar. Acara ini seakan menjadi momentum yang tepat bagi mereka untuk mengeluarkan uneg-uneg mereka terkait dengan sejarah Sasak yang hingga kini -- harus diakui-- masih simpang siur dan tidak jelas adanya.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya terkait dengan Sejarah Sasak ini, yang sekaligus mengulas sedikit pemikiran Pak Fadjri di dalam bukunya itu, yang nota bene merupakan bagian dari disertasinya di program doktor sejarah UGM dengan judul "Mentalitas dan Ideologi dalam Tradisi Historiografi Sasak-Lombok pada Abad Ke-19-20" (2015).
Pertama, pemikiran/penelitian Dr. Fadjri terkait Sejarah Sasak ini berangkat dari konsep hermeneutika (penafsiran) dengan menyandarkannya dalam bingkai "Historical Interpretation". Dalam konteks ini dia mengatakan bahwa sejarah itu bukan semata-mata soal peristiwa atau fakta historis, tetapi yang lebih utama adalah soal apa kata peneliti atau sejarawan terhadap data atau fakta yang diperolehnya sebelumnya. Dia melandaskan model berpikir demikian pada apa yang diungkap oleh Michel Faucoult yang berkata "Sejarah bukanlah rekaman sesuatu yang sebenarnya terjadi, tetapi sesuatu yang sejarawan katakan tentang peristiwa yang terjadi setelah ia mengolah data menurut realitas sosial versinya sendiri".
Kedua, dengan konstruksi berpikir demikian, Fadjri sebenarnya sedang menggunakan model berpikir Dekonstruksi yang ditawarkan sebelumnya oleh Jacques Derrida yang selanjutnya menjadi warna berpikir ala postrukturalisme ataupun posmodernisme dewasa ini. Bersama ini, jika ditelisik lebih dalam, pak Fadjri sebenarnya ingin menawarkan model berpikir yang lebih khas dan berbau kearifan lokal yakni model berpikir ala Reader's Response baik itu estetika resepsi diakronis bersangkut paut dengan intertekstualitas dan hermeneutika secara berbarengan. Semacam model eklektik begitu kira-kira. Kedengarannya ini keren dan ndakik-dakik memang. Tetapi, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak, model konstruk berpikir seperti ini --secara berani saya katakan -- lebih mantap disebut dengan istilah "Durus Tunggak". Artinya, ketika menemukan sebuah kata, maka kata tersebut akan dicari maknanya lalu dikontekskan dan dikaitkan pula dengan kata yang lain dengan peristiwa yang lain pula. Sehingga, karenanya, kata "durus" dalam bahasa Sasak, menurut Fadjri, erat kaitannya denga Idris. Dengan begitu, akhirnya disimpulkan, bahwa peradaban dan bangsa Sasak itu sudah ada semenjak Nabi Idris hidup. Tentu simpulan ini dicukupi juga bersamaan dengan fakta atau data yang ia miliki. Jadi, sebuah kata ataupun fenomena akan bisa bermakna seutuhnya, tidak bias, apabila seseorang mampu memperoleh 'makna asali'nya.
Ketiga, penelitian/tulisan Fadjri ini tampaknya berangkat dari semacam "kemarahan" pribadinya terkait dengan sumber-sumber rujukan sebagian besar orang yang berasal dari "kata-kata" peneliti atau penulis luar Sasak, terutama dari Barat dan Bali ataupun Jawa. Dalam pandangannya, apa yang dikatakan mereka itu seolah-olah ditelan mentah-mentah oleh orang Sasak sendiri dan bangga dikatakan ini-itu oleh mereka. Situasi ini seakan menjadi "impetus" bagi Fadjri untuk menekuni penelitian sejarah Sasak dan rela "loncat pagar" disiplin yang sebelumnya dari jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ke Jurusan Sejarah.
Dalam konteks itu, tulisannya ini menjadi "suara orang dalam" atas sejarah Sasak dan tentu menolak mentah-mentah sebagian besar pemikiran para penulis luar Sasak yang menjadikan bangsa Sasak sebagai orang primitif, terbelakang, dan heathens. Bangsa Sasak menjadi "obyek" bukan "subyek" di dalam narasi-narasi sejarah para penulis luar Sasak. Karenanya, tulisannya ini sebagai "counter story" atas semua itu.
Dengan kata lain, sebagai suara dalam bangsa Sasak, tulisan Fadjri ini berposisi paralel dengan tulisan-tulisan Babad yang berkembang di masyarakat Sasak seperti Babad Lombok, Babad Praya, Babad Selaparang ataupun Babad Sakra -- yang semua ini diakui sebagai Historiografi tradisional dan tentu bisa menjadi sumber rujukan dalam penulisan sejarah. Dalam konteks ini, baik tulisan Fadjri maupun tulisan semua babad di atas memposisikan bangsa Sasak sebagai subyek -- yang menarasikan asal usul orang Sasak, agama dan keyakinan yang berkembang di Sasak, pembentukan karakter orang Sasak, peperangan demi peperangan di Lombok, penjajahan/penaklukan Bali atas Lombok, hingga narasi meletusnya Gunung Samalas yang merupakan induk dari Gunung Rinjani.
Berbeda dengan hal-hal di atas, narasi sejarah Sasak yang ditulisi oleh penulis Barat, bangsa Sasak menjadi musuh dan (harus) ditaklukkan. Artinya Sasak menjadi "obyek". Ambil contoh misalnya, ketika membaca buku "Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang di Selat Lombok" (1991) yang ditulis oleh Anak Agung Ketut Agung, maka bangsa Sasak harus dikuasai atas dasar wangsit yang diperoleh oleh Ida Bethara Alit Sakti yang kemudian mengirim "bala tentara samar" yang secara kasat mata mampu dilihat berupa kupu-kupu kuning, yang sesampainya di Lombok disambut oleh pasukan Arya Banjar Getas dalam rangka menyerbu kerajaan Pejanggik dan wilayah Lombok lainnya. Contoh lain misalnya, ketika membaca buku "LOMBOK, Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940" (terjemahan, 2009) yang ditulis oleh Alfons van der Kraan, maka yang terlihat adalah bagaimana "kebesaran" penjajah Bali dalam menguasai dan menjajah Sasak di Lombok. Menurut Kraan, Lombok dijajah oleh Bali dalam empat tahap penjajahan yakni tahap pertama (1678-1740), tahap kedua (1740-1775), tahap ketiga (1775-1838) dan tahap keempat (1838-1849). Tak lupa, Kraan juga menjelaskan bagaimana tanah-tanah di Lombok dikuasai secara masif oleh penjajah dengan sebutan Druwe Dalem dan Druwe Jabe.
Keempat, terlepas dari kekurangan di sana-sini, tulisan Fadjri ini sebenarnya mencoba mengungkapkan bagaimana asal usul/sejarah ideologi dan mentalitas orang Sasak. Jelas sekali terurai bahwa ideologi dan mentalitas orang Sasak itu bersumber dari agama i.e. agama Islam, bukan Hindu, Budha, apalagi Kristen. Islam sebagai sebuah keyakinan datang ke pulau Lombok sejak abad ke-13, bahkan bisa jadi jauh sebelumnya dari era ini. Menariknya, Islam yang datang dan berkembang sejak kedatangannya bukanlah Islam syariat tetapi Islam sufistik. Model penggambaran Islam sufistik dan pelaku sufi ini kurang lebih seperti dalam cerita novel "Sanggarguri" (2014) yang ditulis oleh Lalu Agus Fathurahman. Artinya, dengan fakta ini, ideologi dan mentalitas Sasak itu terbangun oleh Aqidah Islam yang "hanif" -- yang benar, yang lurus. Syahadat khas Sasak yang diajarkan sejak itu berbunyi: "Syaduu elaq ulle haillulle edaq iyee Muhammad Rasululle". Dengan ideologi ini, maka cara berpikir dan sikap yang khas dimiliki oleh orang Sasak itu adalah "tindih" berupa jujur (lombok), rendah hati, mengabdi, pasrah (ridhe) meskipun pada titik terakhirnya akan menjadi "merang" (melawan, menentang, berani), apabila marwah atau nilai kehormatannya diusik. Intinya, orang yang hanif atau yang lurus (lombok) itu adalah orang yang tahu diri (tau takaq), tahu budaya sopan santun (tau adat), dan bisa berbahasa dengan baik sesuai konteks (tau base).
Kelima, dalam konteks bangsa Sasak sebagai penganut agama Islam yang syariat mulai muncul dan berkembang sejak kedatangan Sunan Prapen di Gumi Sasak. Sunan Prapen dari Giri Jawa Timur datang ke Lombok dalam rangka menyebarkan agama Islam yang bersyariat (Islam Wektu Lime). Kedatangannya ini ditaksir pada abad ke-17. Dalam konteks ini, pertama, Fadjri menolak pemikiran umum yang mengatakan bahwa Sunan Prapen mengIslamkan orang Sasak dengan cara kekerasan (peperangan atau penaklukkan). Kedua, Fadjri berpendapat bahwa bagaimana mungkin Sasak "diislamkan lagi" oleh Sunan Prapen padahal orang Islam sudah beragama Islam jauh sebelum Sunan Prapen datang. Baginya, ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh "penoaq" (tetua) Sasak.
Keenam, jika mengikuti alur berpikir Fadjri, maka di Lombok tidak (pernah) terjadi perang besar atau puputan antara bangsa pendatang (buduh) dengan bangsa Sasak (penduduk asli). Dalam hal ini, para pendatang dari Jawa (pada era Majapahit dengan patihnya Gadjah Mada), dari Bali (pada era Kerajaan Klungkung dan Karang Asem), ataupun dari Makassar (pada era Karaeng Minajae) itu semua datang secara damai dan diterima dengan baik oleh raja Lombok yang bernama Denek Kertabumi. Raja inilah yang mengijinkan mereka tinggal (nyodoq erup) di Gumi Sasak ini. Raja inilah, dengan sikap terbuka, menyambut kehadiran mereka -- yang nota bene sebagian besar dari mereka adalah pelarian dari wilayah mereka masing-masing.
Ketujuh, fakta atau pemikiran ini cukup menarik. Tidak sesuai dengan pemikiran umum masyarakat Sasak. Contoh konkritnya, sebagian besar orang Sasak mempercayai bahwa Lombok pernah dijajah atau ditaklukkan oleh Bali, khususnya kerajaan Karangasem. Adalah karena penjajahan inilah nenek moyang orang-orang Bali yang ada di Lombok sekarang, khususnya di wilayah Lombok Barat dan Mataram, itu bisa hadir dan eksis sebagai bagian dari penduduk Lombok. Penggambaran proses penjajahan Bali itu secara jelas dan detail dijelaskan dalam Babad Lombok ataupun Babad Praya. Bahkan di Babad Praya ini, dijelaskan bahwa orang-orang Sasak melakukan pemberontakan terhadap penguasa Bali di Lombok bernama raja Anak Agung Ngurah Aji pada tahun 1891 disebabkan pajak (upeti) yang sangat besar yang harus dibayarkan oleh masyarakat Sasak terhadap penguasa. Akhirnya peperangan panjang terjadi antara orang Lombok dan pasukan Bali di Praya Lombok Tengah. Dari babad ini, tokoh pemuka masyarakat Sasak yang sebagian diketahui sekarang muncul, seperti Lalu Semail alias Guru Bangkol, Haji Yasin, Mamiq Diraja, dan Mamiq Sapian. Nah, apa yang dikatakan Fadjri di atas yang menolak "pemahaman umum" terhadap sejarah Sasak memang menimbulkan pertanyaan besar bagi orang banyak. Tetapi, demikianlah sebuah tulisan. Fadjri tentu tidak gegabah di dalam menyoal soal ini dan berani berbeda dengan fakta umum. Dia berani berkata demikian tentu berdasarkan "data" yang dia miliki.
Akhirnya, sebagai salah satu pembahas pemikiran Fadjri dalam acara tersebut, saya lantas berpikir begini. Bahwa apa yang ditulis oleh Dr. M. Fadjri ini adalah sebuah "temuan" dari perspektif dia dan yang dihasilkan melalui proses penelitian serta analisis data yang telah dia peroleh. Atas dasar itu, terlepas dari kekurangan ataupun kontroversinya, saya ingin mengajak kita semua untuk menghargai "temuan" Fadjri ini sebagai salah satu "referensi" di dalam membaca "masa lalu" kita. Biarkanlah tulisan pak Fadjri ini bertebaran di masyarakat, dan selanjutnya biarkan pula kita semua --sebagai pembaca sejarah -- untuk selalu kritis dalam memilih dan memilah mana narasi atau fakta sejarah yang lebih baik dan benar. Semakin banyak referensi tentang Sasak akan semakin bagus, bukan? Maka itu, sekali lagi, mari kita hargai pemikiran Fadjri ini sebagai sebuah "Magnum Opus"nya. Biarkanlah waktu yang membuktikannya nanti apakah cukup 'layak' dikatakan demikian.
Sekian!
Penulis: Dr. H. Nuriadi Sayip, M.Hum
Mataram, 27 Desember 2017
SEJARAH SASAK: Bahasan Singkat Pemikiran Fadjri
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Desember 27, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar