Jangan bicara soal teman atau sahabat, Kawan!
Jika engkau belum paham keberartian dan penjarakannya terhadap eksismu
Karena boleh jadi dia itu kelak akan menjadi musuh utamamu.
Musuh, yang sebenar-benarnya musuh!
Sehingga engkau hancur remuk dilindas
Dan, engkau mati sebelum engkau mati!
"Ah, apa perdulimu dengan aku?
Janganlah sok bicara bijak di depanku
Padahal engkau masih belum paham
Apa yang engkau ucapkan itu!"
Jangan bicara soal teman atau sahabat, Kawan!
Karena hingga kini engkau masih mencari
Siapa dirimu sendiri
Teman atau sahabat itu kebutuhan alami
Bagi insan yang masih bernapas dan bertenaga
"Ah, apa peranmu untuk mengatur-atur hidupku?
Janganlah engkau menasihati orang dengan suara nge-bass begitu
Padahal hingga kini engkau masih butuh
traktiran orang-orang, bukan?"
Aku tidak mau bicara lagi soal itu, Kawan.
Aku sudah menemukan temanku yang setia dan tak berisiko
Paling tidak ketika aku sedang berbicara saat ini.
Aku telah menemukan itu semua, Sahabat.
Sungguh, aku menemukannya
Dialah teman, kawan, sahabatku yang setia
Sesetia mentari pada mayapada ini
Selalu datang pada pagi hari dan pergi pada petang menyapa
Temanku itu bukanlah manusia yang bernapas dan bertenaga
Temanku itu bukanlah orang yang bisa bicara
Temanku itu mampu masuk ke dalam aliran darah dan nadiku
Dia benar-benar setia
Tidak pernah berkata 'tidak' ketika aku berharap
Dialah kopi. Kopi hitam pekat yang hangat
Dengan hangatnya menghangati kerongkonganku
Dengan aromanya menusuk di hidungku
Dengan khasiatnya membumbungi semangatku
Maka, janganlah engkau menghardikku, Kawan!
Biarkan kami bercengkerama bersama dia, sejatiku!
"Kalau begitu, ayoo kita ngopi, hehe."
Mataram, pada siang menjelang sore (21/12/2017)
Puisi: KOPI
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Desember 21, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar